Lastri baru saja mengambil kotak Gethuknya di kantin sekolah. Dia
bergegas menuju tempat parkir, hari ini dia dan kelompok belajarnya akan
mengerjakan tugas kelompok di rumah Maya, teman sekelasnya sekaligus
sahabatnya. Siang ini, Sunter benar-benar di buai surya, Lestari yang
membonceng di belakang Rangga, berulang kali mengusap keringatnya.
Setibanya di sana, Lastri bersama keempat sahabatnya bergegas menuju
balkon rumah Maya yang begitu teduh karena ditumbuhi perdu dan
bunga-bunga. Maya segera menyiapkan sekian hidangan di atas meja, jus
Jeruk, Kacang asin dan roti bakar mentereng setelah mbok Surti
menuntaskan tugas dari Maya, si tuan rumah, ehem maksudnya nona rumah.
Lastri, Maya, Doni, Rangga dan Haikal, segera menuntaskan tugasnya.
Lastri dan kelompok belajarnya mendapatkan tugas membuat Mabok alias
majalah tembok dari ibu Nawang, wali kelasnya. Karena lusa, kelasnya
mendapatkan jadwal cipta karya, dimana masing-masing kelompok belajar
wajib memampang karyanya.
Lastri mendapat tugas karya sastra, seperti cerpen, puisi dan esai.
Doni bertugas membuat tajuk rencana serta meliput kegiatan di sekitar
sekolah atau yang biasa disebut dengan reportase, Rangga bertugas
mengekspos dunia IPTEK, sementara Haikal dan Maya diizinkan
menari-narikan kuas dan cat airnya. Semua menikmati tugas masing-masing.
“Hmmm, coba deh kalian bayangin kalau Markus horizon dan Bambang
Pamungkas menjadi pemain basket, kalo nggak penari balet deh, pasti lucu
kan?” cetus Haikal tiba-tiba.
“Iiih, lebay ah,“dengus Maya malas. Yaa, Maya Tunjung Aji memang lebih
sering mementingkan asanya, tidak jarang pula Maya mengabaikan perasaan
keempat sahabatnya, oops, maksudnya kelima sahabatnya, bersama Nadina
yang tidak hadir saat itu.
“Nggak juga kok May, boleh juga tuh idenya, kira-kira judul yang pas apa ya buat karikatur itu?”
“Spontan uhuuy” jawab Rangga meniru Komeng.
“Aah, udah basi, gimana kalo miss understand” Doni menambahkan.
“Iya tuh, Doni bagus juga usulnya” Rangga setuju.
“Menurut loe gimana May?”
“No coment ah, nggak seru”
“Mmm, gimana kalau knowledge kacau, konsepnya kita bikin lebih unik,
misalnya ada anak kecil yang ditanya oleh temannya tentang Bambang
Pamungkas dan Markus Horizon, terus spontan mereka membayangkan kalau
mereka adalah seorang pemain basket sama penari balet” papar Lastri.
“Mmm, bagus juga sih, tapi kalau anak kecil sih wajar kalau mereka nggak
tau, tapi kalau anak SMP atau remaja sampai nggak tau figure mereka,
nah itu baru knowledge kacau, ya kan?” cetus Haikal penuh yakin.
Maya hanya terdiam melihat keempat anggota kelompoknya, dia sedang
memikirkan sesuatu. Tentunya untuk menghibur dirinya yang kesepian.
Ayahnya seorang pembisnis ulung di bidang developer, sementara ibunya
bertindak sebagai tangan kanan ayahnya, itulah sebabnya ibu Maya lebih
sering menemani ayahnya untuk sekedar rapat direksi maupun melakukan
riset desain serta urusan pendanaan di perusahaannya. Sementara
bersahabat dengan Lastri dan kawanannya adalah sebuah pelarian,
setidaknya Maya yang baru satu semester berada di sekolahnya saat ini,
sudah mempunyai teman di kelasnya, dan Lastri yang dikenal sebagai ibu
dari kelompoknya karena usianya yang selang 2 tahun itu, setidaknya dia
mau mengajari PR-nya, sayangnya baginya bersama Lastri dan kawanannya
merupakan sebuah simalakama, meskipun tersirat kebanggaan dalam hatinya,
karena setidaknya dialah yang terkaya di antara kelima kawanannya itu.
“Loe kenapa May?” tanya Lastri,
“Ng… nggak kenapa-napa kok, cuma lagi mikir aja, Sunter hari ini panas
banget. Soo, kalian mendingan minum dulu deh, pasti haus kan?”. Jawabnya
mengeles.
“Iya juga sih, minum ah”, lanjut Doni diikuti seluruhnya.
“Oh iya, ini orange juice asli dari Holand lho, oleh-oleh dari om Romy saat liburan ke Holand.”
Oo… bukan Maya namanya jika tidak mencetuskan merek maupun asal-usul semua barang yang dimilikinya, seperti…
“Eh, ini tas dan dompet Louis Voittion yang kemaren mama beli langsung dari gerainya di Paris lho, bagus kan?”
“Eh, ini jam tangan Pathek Philips punya omaku, harganya hampir sama
dengan harga satu rumah, bahkan dua apartement di Mangga Dua Square,
karena terbuat dari butiran diamond, swaroski dan emas yang dipahat
langsung oleh tangan dingin penjualnya usia jamnya mampu bla… bla… bla.”
Oh Maya, dia memang berbakat menjadi pemeran iklan, soalnya tanpa
disuruh pun, Maya akan dengan senang hati memproklamasikan fitur
barang-barangnya.
“Mmm, pantes seger banget”, hibur Lastri.
“Harganya pasti mahal ya May?”, imbuh Rangga.
“Mmm, nggak tau juga sih, tapi kayaknya sih cukup mahal.”
“Oh iya, ayah sama ibu kamu kok sepi May?”
“Ooh, ya gitu deh, bonyok lagi ada riset di New York.”
“Pantes sepi, loe pasti udah terbiasa ditinggal ya May?”
“Ya gitu deh, resiko seorang anak pembisnis sekaligus resiko orang…”
“Kaya…!!!” seru keempat sahabatnya kompak seperti biasa.
Lastri dan kelompoknya kembali menyelesaikan tugas masing-masing. Di
izinkannya pulpen dan kuas yang menari di atas kertas dan sterefom
sebagai medianya.
“Yes, I’m Finish…”
“Yuhuu… akhirnya kelar juga nih”
“Asik gue juga kelar nih.”
“Siip deh, semoga kita bisa menang dalam edisi minggu ini, oh iya Las, minggu ini jadwalnya kelompok belajar mana aja sih?”
“Mmm, kelompok kita, kelompok Sakura, teruuus, kelompok Samudra”
“Lumayan juga ya saingan kita, optimis nggak ya?”
“Optimis donk Don, pasti bisa.”
“Mmm, tapi gue nggak yakin Las, kelompok Sakura kan udah jadi winner berturut-turut”
“Soo what May? selama kita berusaha, pasti ada jalan kok, yaa… walaupun
semisal nantinya gak juara, paling nggak kita udah berusaha”
“Betul… betul… betul…” seru Doni, Rangga dan Haikal kompak.
Maya pun mengangkat kedua pundaknya dan hanya tersenyum kecut seperti biasa.
—
Lastri kembali ke parkiran sekolahnya untuk mengambil sepedanya yang
beberapa jam sebelumnya dititipkan kepada pak Ahmad, penjaga sekolahnya.
“Loe gak mau dianter gue aja Las, biar nanti pak ahmad yang bawa sepeda loe, dia tetangga loe kan?”
“Nggak Rangga, ntar bisa-bisa eyang ngamuk lagi, liat gue pulang telat dianter cowok”
“Emang loe belum sms kalo kita mau belajar kelompok?”
“HP nenek baru aja di jual Ra, buat bayar tagihan listrik bulan kemaren.”
“Ooops, maaf ya Las, gue nggak bermaksud…”
“Biasa aja lagi kaya sama siapa” Lastri tersenyum.
“Ya udah deh, gue pulang duluan ya…”
“Siip…” jawab Lastri seraya mengacungkan jempolnya kepada Rangga.
Lastri mengayuh sepeda ontanya untuk kembali berkumpul dengan nenek
tercintanya. sepeda tua yang di kayuhnya adalah sepeda nenek Ningsih
yang masih setia dengan keantikanya. Sama antiknya seperti pemiliknya,
yang begitu sumringah dan begitu semangat mengurus Lastri dan kakaknya,
Dinar. Semenjak kedua orangtuanya wafat karena tertabrak truk saat
hendak menyebrang jalan, 4 tahun yang lalu. Lastri begitu menyayangi
neneknya, begitu juga dengan Dinar, keduanya telah menobatkan mahkota
bergelar orang tua kepada neneknya.
Diketuknya pintu rumah yang beralaskan keramik putih, separuh
dindingnya sudah kokoh dan separuhnya lagi terbuat dari kayu jati yang
di vernish apik oleh almarhum ayahnya. Rumahnya memang tidak semewah
rumah Maya, setidaknya setiap hujan mengguyur deras, Lastri, Dinar dan
neneknya, harus siap siaga dengan tiga atau empat ember untuk menampung
tetesan-tetesan air hujan di setiap ruangan di rumahnya. Meskipun
demikian Lastri akan sangat damai bernaung di dalamnya, karena cintanya
kepada neneknya, dan karena syukur yang menaungi hatinya. Seorang wanita
separuh baya dengan segera membalas salam, membukakan pintu untuk
Lastri. Dengan senyuman yang tersimpul khas milik neneknya.
“Dari mana aja kamu Lastri?”
“Iya eyang, Lastri minta maaf ya, tadi Lastri sama temen-temen abis kerja kelompok di rumah Maya.”
“Oh, ya sudah ndak masalah, yang penting kamu ndak kluyuran sliweran
ndak jelas. Wis makan siang belum kamu nduk?” tutur nenek Ningsih dengan
ciri khas jawanya.
“Sampun eyang…” Ledek Lastri kepada neneknya.
“Kamu bisa saja ngeledek eyang, memangnya kamu masih inget bahasa krama
inggil yang diajarkan ibumu? kalau masih, ayo sebutkan satu per satu.”
“Masih donk eyang, gimana kalo eyang yang mulai”
“Ok, Kalau makan?”
“Dahar utawi ndahar”
“Pinter, kalau pergi ke warung?”
Lastri berfikir sejenak merasa dikerjai neneknya dengan kalimat yang cukup menguras memorinya.
“Aha, tindak teng wande, ya to eyang?”
“Betul, terus kalau mau masak nasi?”
Kali ini Lastri benar-benar menguras memorinya, karena sebelumnya ibunya
benar-benar singkat mengajarinya. Beruntung memori Lastri cukup
bersahabat.
“Tau eyang, kulo badhe masak sekul” Nenek Lastri menyimpulkan senyum melihat logat cucunya.
“Nah, sekarang kalau aku mau mandi?”
Kalau ini Lastri tidak begitu kesulitan karena kakaknya hampir setiap hari menggunakan dialek ini sembari mengambil handuk.
“Aah, itu Lastri juga tau, kulo badhe siram, iya to eyang?”
“Betul, betul, betul”. Ledek nenek Ningsih menirukan sebuah peran salah satu kartun di chanel swasta.
“Nah, sekarang kamu mandi, terus ke warung beli beras, terus masak nasi!”
“Siap eyang, oh iya eyang, ini uang hasil jualan Gethuk hari ini,
seperti biasa eyang, laris manis nasi tiwul” tutur Lastri seraya
menyodorkan wadah Gethuknya dan uang hasil jualannya di kantin sekolah.
“Alhamdulilah ya nduk, ya sudah cepat sana mandi, sebelum kakakmu
pulang”, imbuh nenek Ningsih mengingatkan Lastri akan kakaknya yang bisa
berjam-jam berkontes ria di kamar mandi, dengan siulan dan deringannya
yang fals menyanyikan lagu om Iwan Fals.
“Untukmu yang duduk sambil diskusi, untukmu yang biasa bersafari, disana
di gedung DPR, saudara di pilih bukan di lotre, meski kami tak tau
siapa saudara, kami tak sudi memilih para juara, juara diam, juara he
eh, juara ha ha ha”
“Cepatlah besar matahariku, menangis yang keras jangan lah ragu,
tinjulah congkaknya dunia buah hatiku, doa kami di nadimu”, salah satu
lirik yang sering Dinar lantunkan, membuat Lastri terenyuh jika teringat
kedua orang tuanya, lebih tepatnya almarhum ayahnya yang gemar
menyanyikan lagu yang sama.
—
“Eh, nak Lastri beli beras ya?”
“Iya pak, Lima liter aja ya pak”
“Gimana kabar nenekmu, sehat?” Lastri mengangguk pelan,
“Oh iya, sampaikan sama nenekmu, besok suruh ke warung ya, sampaikan juga ini penting dan wajib!”
Hidangan makan malam, tertata rapi dan begitu menggoda di meja makan.
Tumis Kangkung, sambal Terong dan Tempe goreng menjadi menu lezat yang
melambai-lambaikan aromanya. Nenek Ningsih, Lastri dan Dinar,
menyantapnya usai bermunajat bersama. Kecerahan yang berseri-seri
sebagai rasa syukur atas nikmat Tuhan di hari ini. Setelah membereskan
meja makan, Lastri menyampaikan pesan pak. Bagyo, nenek Ningsih hanya
menghela nafasnya.
“Eyang kenapa?, ada masalah sama pak. Bagyo?”
“Nggak cu, kamu tenang aja. Sudah belajar sana, habis itu kamu cepat
tidur, besok sekolah kan?” Lastri yang keras kepala tidak berhenti
mendesak neneknya, nenek Ningsih yang sebelumya tidak mau bercerita
kepada Lastri terpaksa menceritakan bebannya.
“Kamu, pasti sudah tau Lastri, pak. Bagyo sampai saat ini belum melunaskan utang eyang.”
“Oh, jadi selama ini cicilan eyang yang per Rp 20.000 itu tidak dianggap
sama pak. Bagyo?!”, Dinar tiba-tiba muncul dari kamarnya, seraya
menggeramkan pandangannya pada sosok seorang pak. Bagyo yang terkenal
sebagai juragan di mata masyarakat sekitar. Lima bulan yang lalu nenek
Ningsih terpaksa berhutang kepada pak. Bagyo, saat tidak punya uang
untuk melunasi SPP Lastri. Karena tidak ingin merepotkan kedua cucunya,
beliau terpaksa membungkam aksinya. Menurut nenek Ningsih, hutangnya
sudah lunas karena sudah dicicil per Rp 20.000 selama lima bulan. Tetapi
untuk pak Bagyo, selama belum membayar bulat hutangnya, maka setempel
berlogo lunas tidak akan dicetuskannya.
“Biar Dinar yang urus, besok sore Dinar gajian, eyang gak usah mikirin lintah darat itu” tegas Dinar geram.
Malam ini Lastri begitu sulit memejamkan matanya, dia merasa bersalah
kepada neneknya yang terpaksa berhutang kepada pak. Bagyo dan rela
menjadi bahan hinaanya demi membayar uang SPPnya. Warih romannya menetes
perlahan. Lastri teringat cita-citanya untuk berkuliah, tetapi
sepertinya saat ini cita-citanya bagaikan equator nestapa.
Seperti biasa sebelum Subuh Lastri sudah sibuk membantu neneknya di
dapur, mangaduk adonan Gethuk sampai lembut, kemudian mengukusnya di
panci. Setelah matang dibiarkan sedikit mendingin kemudian dibungkus,
selang beberapa menit, Gethuknya tertata rapi dalam masing-masing
wadahnya. Di samping kamar mandi tempat Lastri biasa mencuci sandangan
keluarganya, Lastri telah merampungkan tugasnya.
Lastri dan Dinar mencium tangan neneknya. Seperti biasa Dinar
membonceng sampai di pangkalan angkot di pinggir jalan raya, selanjutnya
Lastri mengayuh sendiri sampai di tempat parkiran sekolahnya.
Pemandangan pagi yang sudah biasa, dimana setiap sudut memandangnya
hina, penuh miris dan melas, Lastri pun lebih kuat bersamanya,
setidaknya rasa cintanya kepada sang neneklah yang tidak mampu
melunturkan niatnya untuk tetap menggunakan sepeda tua milik neneknya.
Lastri berjalan menyusuri koridor di sekolahnya, sosok seorang
sahabatnya melambaikan tangannya di depan pintu kelasnya. Lastri
membalas lambaiannya. Ia pun mempercepat langkahnya, dijumpainya Nadina,
dengan kabar yang menambah kesejukan pagi, karena sekolahnya kembali
menjadi juara umum lomba sendra tari Nusantara.
Bel istirahat berdering sesukanya, meneriakkan setitik kegembiraan
bagi seluruh penghuni SMA Bakti Negeri. Lastri dan Doni menemui
kawanannya setelah merampungkan rapat OSIS di aula sekolah. Keduanya
membawa sekuntum Asoka untuk kelompok belajarnya. Iya benar, Mabok
mahakarya Lastri dan para sahabatnya menepati posisi pertama untuk
minggu ini, Asoka pun semerbak mewangi.
Lastri merampungkan kisahnya semalam, tentang rasa bersalahnya kepada
nenek tercintanya, tentang mimpinya yang masih tergantung indah dan
merayu langkahnya, kepada Nadina yang lebih bisa mengerti keadaannya,
setidaknya bersama Nadina, Lastri tidak segan untuk menjatuhkan
warihnya.
Nadina benar-benar tahu, Lastri tidak akan mau menerima bantuan
materinya, sementara Lastri menemui ibu Nawang untuk menerima hadiah
untuk kelompoknya, Nadina berlari mencari kawanannya, tepat di sebuah
taman di dekat Mushola Nadina menjumpai Rangga, Doni, Haikal dan Maya.
Diceritakannya sebuah empedu yang tengah dikecap oleh Lastri. Maya yang
sedari tadi menarikan jemarinya, merasa sedikit terganggu karena Nadina
melambaikan niatnya untuk meminjam laptopnya. Nadina menjuruskan sekian
harapan, dibukanya setiap kata kunci lomba kepenulisan, dan ahhaa…, dia
menemukanya. Sebuah kunci untuk sahabatnya. Lastri.
Senja meluruhkan senyum seorang Lastri, pak Bagyo yang kalap, mamaki
neneknya sejadi-jadinya. Tangisannya meluap bersama bencinya kepada
seorang pak Bagyo. Seorang Dinar yang baru saja merampungkan
perjalanannya menuju istananya, langkahnya terhenti sesaat, ketika
menyaksikan seorang adik dan neneknya terkapar pasrah di lantai
keramiknya. Sesak menyendat nafasnya, ditariknya kerah sang juragan yang
arogan, ditatapnya dalam-dalam penuh kebengisan. Dilemparkanya dua
lembar seratus ribuan, dilemparkannya tubuh yang tercekam penuh geraman
seorang Dinar, terukir dengan jelas tetesan airmata, melukiskan sebuah
bakti yang tiada rela tercoreng.
“Dasar juragan brengsek…!!!, enyahlah loe dari muka gue, makan duit
haram ini, gue bayar dua kali lipat, biar loe puaaas!!! makan!!!,
puas-puaskanlah bekalmu menuju neraka, juragan tak bermoral…!!!, pergi
loe, pergiiii…!!! fu*k!!!”
Sejenak Kediaman seorang nenek Ningsih dipenuhi sekian tetangganya yang
merasa terusik, ada yang menatap bengis kepada seorang juragan yang
tercekam dan terlempar pekat di atas tanah. Ada yang memandang melas
Lastri dan neneknya yang masih sesenggukan di bale rumahnya, ooh Tuhan,
ringankanlah perih atas peluh kedua mahkluk baikMu itu.
Lastri masih mencucurkan air matanya, sulit baginya melupakan rasa perih
di hati neneknya, nenek Ningsih pun masih terpaku dengan munajatnya,
sementara Dinar tediam erat menatap sebuah potret dirinya bersama
Lastri, kedua orangtuanya, sepasang leluhur yang diapit keduanya. Nenek
Ningsih dan kakek Sameja. Sebuah ponsel Nokia 3315 berdering penuh
semangat, Lastri membuka pesan dari Nadina.
“Lastri, lw msh p9n kuliah kn?lw msh p9n bhgiain nnek lw kn?lw msh p9n
beliin aba9 loe mtor kn? sbuah kunci udh gw tmuin, ad lmba nlis
nih..temanya tt9 prjua9n,wktu’y tinggal 4 hr lg,lw yg sm9t nlis y,biar
bs jwra 1+jd dta pena IND.good luck, oia, hri snin gw t9gu d kls. Sm9t
shbtq.” Sejenak Lastri pun merasakan setitik embun membelai hatinya,
dicarinya pena dan sekian lembar kertas, Lastri membiarkannya menari
bersama isi hatinya.
Mentari bernaung dalam kelembutan stratus dan cirrus yang mengukir
awan pagi. Lastri yang masih sibuk menarikan penanya, mengusik perhatian
neneknya.
“Lastri, lagi ngapain kamu nduk?”
“Mmm, lagi bikin cerpen eyang,” jawab Lastri yang terus menggoreskan tintanya.
“Cerpen? jadi semalaman kamu begadang bukan untuk belajar?!!” suara
nenek Ningsih sedikit meninggi, Lastri merasa telah membuat sebuah
kesalahan, dengan pelan ia mengangguk.
“Lastri, setiap hari eyang rela menahan lelah berkeliling komplek untuk
sekedar membiyayai sekolahmu, seharusnya kamu tahu impian eyang nduk,
seminggu lagi kamu ujian, kamu tidak ingin nenek kecewa karena nilai
ujianmu jatuh kan? Kemarikan kertas-kertas itu nduk!”, Lastri hanya bisa
terpaku pasrah, melihat neneknya mengambil buah karyanya. Simalakama
kembali menderanya.
Lastri menangis lirih dibalik selimutnya, dia dilanda gundah yang
luar biasa. Sayangnya ambisinya lebih kuat mendorongnya. Lastri
memberanikan dirinya untuk mengambil buah penanya di kamar neneknya.
Dilihatnya nenek Ningsih yang terlelap dibalik selimutnya. Lastri pun
seperti ingin meneriakan sebuah kemerdekan. Tiba-tiba, ada sebuah tangan
yang menyentuh pundaknya, oo, ternyata keberuntungan belum berpihak
padanya, dan…
“Plak!!!”, disadari atau tidak, sebuah tamparan melukai pipinya. Dari
seorang kakak yang sejak tadi menjadi saksi ketegasan neneknya. Lastri
pun hanya mampu tertunduk lesu, detak jantungnya bagaikan terhenti
sejenak.
“Kemaren, kita sudah cukup menderita, hari ini, kamu masih ingin membuat
kami menderita?!” Dinar menatapnya tajam, Lastri hanya mampu terisak,
seraya memegangi pipi kanannya, ucapan kakaknya benar-benar menorehkan
sebuah penyesalan, seperti semua yang terjadi adalah karenanya. Ooh,
Lastri, tabahkan hatimu.
Senin telah tiba, sepulang sekolah Lastri dan Nadina menuju rumah
Maya, untuk meminjam laptopnya, Nadina yang mampu mengetik dengan
sebelas jarinya, mempercepat tercetusnya karya seorang Lastri Arum Aji.
Nadina yang sejak pagi menunggu janji Lastri untuk bercerita, terpaksa
menagih janjinya. Lastri pun menceritakan seruntutnya bersama Nadina dan
Maya. Nadina meneteskan air matanya, separuh tubuh Lastri dipeluknya.
Maya yang membisu, tiba-tiba angkat bicara.
“Lagian ngapain juga utang ke rentenir, wajarlah kalo bunganya tinggi,
apalagi sampe maki-maki nenek loe. Nenek loe juga sih, udah tau nggak
bisa bayar, ngapain juga ngutang-ngutang, huuuh, cari penyakit itu
namanya!” dengus Maya. Entah setan dari perfilman mana yang menuntun
alur bicaranya. Lastri yang merasa terhina, cepat-cepat beranjak dan…
“Plaak…!!!”, sebuah tamparan mendarat tepat di pipi kiri milik Maya.
“Loe mungkin nggak pernah sedikit saja mengecap kesengsaraan May!!!, Loe
juga mungkin nggak pernah seharian menahan lapar, loe juga nggak pernah
merasakan keringat untuk sekedar membeli nasi bungkus basi!!!. Nenek
gue memang bukan seorang pengusaha yang berlimpah harta seperti nenek
loe May, sejak kecil bahkan dia nggak mampu beliin gue mainan. Sementara
nenek loe, dengan mudahnya membeli boneka Barbie dari Mattel Amerika.”
“Loe mungkin boleh menghina gue sepuas dengkul loe May!!!, tapi tidak
untuk nenek gue, meskipun dia hanya sorang penjual Gethuk keliling!!!,
berapapun harga dunia, mungkin bisa loe beli May, tapi tidak untuk harga
diri nenek gue!!!”. Belum sempat Lastri beranjak, Ny. Nilam yang baru
saja tiba di balkon kamar Maya, menarik tangannya,
“Berani sekali kamu memaki-maki cucu saya!!!, punya status apa nenekmu
sampai kamu begitu gagahnya menghina cucu saya!!! siapa nama nenekmu,
akan saya cek di buku daftar orang-orang keturunan ningrat di Indonesia,
jangan lancang kamu ya!!!.”
“Nenek saya bukanlah keturunan ningrat di Indonesia, tapi dia adalah
seorang ningrat di surga, catat saja Ningsih Sekar Aji, penjual Gethuk
keliling!” entah apa yang terjadi, guncangan hebat seperti menahan
amarah seorang Ny. Nilam. Lastri yang masih terisak beranjak bersama
Nadina. Sesampainya di rumah, Lastri masih menyimpulkan senyum untuk
kedua kekasihnya, meskipun yang didapatkannya hanyalah sebuah kebisuan.
Ujian Nasional hadir begitu cepat, Lastri begitu gigih belajar,
neneknya yang sudah mulai tersenyum untuknya, menambah kekuatan hati
yang begitu kokoh. Sampai tiba saat pengumuman, Lastri mampu mengukirkan
air mata kebahagiaan untuk neneknya. Dia mampu berada di peringkat
pertama di sekolahnya. Pagi yang begitu sejuk, Lastri mengayuh sepedanya
penuh semangat, sebelumnya dia mengingatkan nenek dan kakaknya untuk
benar-benar hadir menjadi walinya. Sesampainya di sekolahan, nenek
Ningsih begitu khawatir karena Lastri belum juga muncul, sampai acara
hampir berakhir, pak Waluyo kepala sekolah SMA Bakti Negeri menayangkan
sebuah acara televisi. Seluruh hadirin menyaksikanya, dan…
Lastri bersama Nadina, dan juga ibu Nawang ada pada acara televisi itu,
tidak hanya Rangga, Doni dan Haikal yang terkejut tetapi juga nenek
Ningsih, Dinar, Maya dan juga Ny. Nilam. Pada acara televisi itu,
terlihat Lastri berurai air mata, tengah memegang sebuah piala besar dan
Nadina yang membantu membawakan sebuah papan berukuran 30 x 75 cm, yang
menorehkan sebuah nominal sebesar Rp 100.000.000. Saat seorang pembawa
acara bertanya padanya,
“Lastri, tahun ini anda berhasil meraih gelar Duta Pena Indonesia,
pastinya bangga bukan, adakah seseorang yang anda dedikasikan khusus,
ehm, pacar mungkin?”, ledek si presenter itu, dengan isaknya Lastri
menjawab,
“Ini semua aku persembahkan untuk eyangku tercinta, nenek Ningsih Sekar
Aji. Terimakasih eyang, Lastri sayang eyang,” Air matapun jatuh terurai,
pada sebuah pipi yang mengeriput, pipi seorang nenek Ningsih.
Lastri tiba di sekolah, matanya masih menorehkan kebahagiaan, nenek
Ningsih yang ditatih oleh Dinar, berjalan menemui Lastri dan memeluknya
erat-erat.
“Ooh Wulan, Karyo, lihatlah anakmu yang hebat ini,”
Dari balik pintu, Ny. Nilam muncul bersama Maya, dituntunnya perlahan,
didekatkannya kepada Lastri, dia pun memeluknya penuh kerinduan. Lastri
yang masih belum mengerti, melepas pelukan Ny. Nilam, menjauh mendekati
nenek Ningsih dan Dinar.
“Lastri, dia juga eyangmu nduk, dialah ibu kandung ibumu,” tutur nenek
Ningsih lembut, seraya menuturkan sebuah rahasia yang terkubur waktu,
bahwa Ny. Nilam adalah adik kandung nenek Ningsih, yang pada masanya
mengalami pergaulan yang fatal, sehingga kelahiran seorang Wulan menjadi
aib baginya, kakek buyut Lastri mengusirnya. Sementara Nilam muda yang
hidup terlunta-lunta di jalanan, terpaksa menitipkan anaknya kepada
Ningsih, dan setelahnya dia menghilang tanpa jejak. Lastri masih
membisu, dia memasrahkan tubuhnya dipeluk oleh Ny. Nilam, di depannya,
terlihat Maya menyodorkan jari kelingkingnya,
“Kita saudara, saat ini kamulah kakakku, jadi, kamu mau maafin aku kan?”
setitik warih mendayu di pipi seorang Maya, dan Lastri, meraih jari
kelingking Maya dengan jari kelingkingnya. Sementara di sudut ruangan,
Nadina, Doni, Rangga dan Haikal tersenyum dengan buruknya, terlihat
berbagai aksi mereka lakukan untuk menipu keharuannya, ehm, tetapi
sekian tisu yang berceceran, cukup menjadi saksi bahwa merekapun turut
bahagia. Ooh Tuhan, terimakasih.
Cerpen Karangan: Ian Srikandi